FENOMENA SELFIE DAN ALASAN AKSI FOTO NARSIS BEGITU DIGEMARI
Penggemar situs jejaring
sosial Instagram setahun belakangan ini pasti akrab dengan hashtag bertuliskan
selfie. Mulai dari orang biasa hingga selebriti ternama, semua 'latah' berfoto
selfie. Begitu populernya selfie sampai-sampai Kamus Bahasa Inggris Oxford
menobatkan kata tersebut sebagai kata yang paling banyak dicari pada November
2013.
Bagi Anda yang belum tahu,
selfie merupakan gaya foto yang menampilkan diri sendiri entah itu wajah, seluruh
tubuh atau hanya bagian tertentu dari tubuh. Foto selfie ini dilakukan oleh
diri sendiri tanpa meminta bantuan orang lain untuk memotret Anda. Saat
melakukannya, si pelaku selfie akan memegang ponsel berkamera atau kamera
dengan salah satu tangannya dan mengarahkan lensa ke bagian yang ingin difoto.
Psikolog Kasandra Putranto
melihat fenomena selfie ini terjadi tak lain karena semakin canggihnya
teknologi. Jika dulu foto diri sendiri tidak memungkinkan karena tidak adanya
teknologi yang mendukung, sekarang ada banyak gadget penunjang untuk selfie.
"Dulu mau foto sendiri
gimana caranya, ya harus ke tukang foto. Sekarang orang punya gadget, kamera,
self timer, itu teknologi yang memungkinkan," kata psikolog lulusan
Universitas Indonesia itu saat berbincang dengan Wolipop di kantornya di
kawasan Kramat Pela, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan,
Dilihat dari sisi psikologi, Kasandra menilai fenomena selfie merupakan salah satu bentuk psikologi konsumen karena ada supply dan demand. Demand terjadi ketika orang-orang berkeinginan memotret dirinya sendiri dan kemudian didukung (supply) dengan hadirnya berbagai gadget canggih.
"Supply dan demand naik, munculah Facebook dan Instagram. Lalu foto (selfie) itu disebarin, ditunjukin ini lho saya lagi ngapain," ucap Kasandra.
Dilihat dari sisi psikologi, Kasandra menilai fenomena selfie merupakan salah satu bentuk psikologi konsumen karena ada supply dan demand. Demand terjadi ketika orang-orang berkeinginan memotret dirinya sendiri dan kemudian didukung (supply) dengan hadirnya berbagai gadget canggih.
"Supply dan demand naik, munculah Facebook dan Instagram. Lalu foto (selfie) itu disebarin, ditunjukin ini lho saya lagi ngapain," ucap Kasandra.
Pandangan lain mengenai
penyebab orang menyukai selfie datang dari profesor di Massachusetts Institute
of Technology, Sherry Turkle. Dalam tulisannya di New York Times, Sherry
mengatakan selfie, seperti foto pada umumnya, merupakan cara seseorang untuk
merekam sebuah momen yang kemudian diperlihatkan ke orang lain.
Berdasarkan pengalamannya
selama 15 tahun mempelajari hubungan antara manusia dan mobile techology, dia
melihat sekarang ini bagi banyak orang sharing atau berbagi apapun dalam
kehidupanlah yang penting dilakukan. "Orang-orang tidak lagi merasa
menjadi dirinya sendiri kecuali mereka berbagi sebuah pemikiran atau perasaan,
meskipun sebenarnya pemikiran atau perasaan itu juga belum jelas untuk
mereka," tulis Sherry.
Profesor yang juga penulis
buku Alone Together: Why We Expect More From Technology and Less From Each
Other itu menulis lagi, jika dulu seorang filsuf Prancis ternama Descartes
mengatakan 'I think, threfore I am', orang zaman sekarang karena begitu hobinya
berbagi apapun di situs jejaring sosial dan internet, mengubah ungkapan
tersebut menjadi 'I share, therefore I am.'
Fenomena memperlihatkan atau
membagikan apapun mengenai diri ke internet inilah yang semakin membuat selfie
menjadi populer. Menurut Sherry, selfie membuat orang-orang jadi
mengesampingkan apapun yang tengah terjadi di sekitar kita karena yang
terpenting adalah bagaimana agar momen tidak hilang dan didokumentasikan.
Ternyata, Selfie Bisa Jadi Karya Jurnalistik dan Hasilkan
Uang
Walau
‘selfie’ dipandang sebagai bentuk modern dari narsisme, ada hal lain dari
fenomena ini yang belum disadari masyarakat. ‘Selfie’ bisa menjadi sebuah
bentuk jurnalisme warga dan memiliki potensi bisnis, menawarkan uang sebagai
bentuk pertukaran foto yang diunggah online.
Bangkitnya
media sosial, yang dibarengi dengan maraknya penggunaan ponsel pintar, tablet
dan latop, adalah faktor di balik munculnya bentuk baru fotografi, yakni
‘selfie’.
Seperti
namanya, ‘selfie’ meliputi wajah sang fotografer dalam jarak dekat, dengan
rumah atau lokasi liburan sebagai latar belakangnya, menggambarkan apapun,
mulai dari potongan rambut baru hingga suasana hati yang buruk.
‘Selfie’
mudah dilakukan dan bahkan lebih mudah untuk diunggah ke media sosial seperti
Instagram, Facebook, dan Twitter.
Selfie
sering diartikan sebagai bentuk narsisme dan dipandang sebagai fenomena
fotografi yang secara spesifik dikaitkan dengan anak muda, tapi ada alasan
mengapa kita harus memperhatikan fenomena foto ini.
Potensi
produktif dari selfie, misalnya, bisa dilihat dari pergerakan politik terbaru,
seperti unjuk rasa di Hongkong, tempat di mana selfie secara tak sengaja
menjadi bentuk jurnalisme-foto warga. Selfie memungkinkan pelakunya untuk
menandakan kehadiran mereka, secara visual, pada peristiwa penting seperti
unjuk rasa, dan foto-foto ini memiliki kekuatan untuk menumbangkan liputan
media yang ‘mainstream’.
Tapi
apa perbedaan selfie dengan foto sehari-hari yang diambil warga pada saat ia
menyaksikan suatu peristiwa atau mengikuti suatu acara?
Melihat
potret wajah dengan ukuran ‘close-up’ atau secara dekat adalah bedanya. Selfie
memiliki narasi personal atas gambar di dalamnya, di mana orang yang ada dalam
foto bukanlah sebuah obyek jauh dan pasif.
Para
pengguna ini bisa diklasifikasikan sebagai mikro-selebriti media sosial –
mereka memiliki jumlah pengikut yang lumayan banyak, yang bisa dipengaruhi.
Penulis
blog gaya hidup di Singapura adalah salah satu kelompok masyarakat yang
memprofesionalkan selfie mereka demi keuntungan ekonomi. Para penulis blog ini
secara hati-hati mengunggah selfie mereka, menciptakan keintiman dengan para
pengikut, yang merupakan target
Bahkan
ada perusahaan iklan yang mengkhususkan diri dalam mewakili para penulis blog
populer dan pengguna media sosial. Setelah mereka diwakili, seorang
manajer bekerja untuk menengahi kolaborasi dan kesepakatan antara pengiklan dan
pengguna media sosial dalam pembahasan komisi.
Dari
media sosial yang ada, Instagram muncul sebagai pilihan teratas di antara para
pengiklan korporat, berkat tampilan foto yang dimilikinya.
Menampilkan
foto berukuran kecil yang sudah disesuaikan ukuran file-nya, Instagram membuat
para penggunanya mengakses dan mengunggah foto dengan mudah. Dengan aplikasi
penyuntingan foto yang dimilikinya, para pengguna juga bisa mempermak foto yang
akan diunggah supaya lebih banyak disukai pengguna lainnya.
Mereka
yang menggunakan Instagram untuk keuntungan finansial juga harus menemukan cara
untuk memasarkan produk dan pengalaman mereka secara kreatif. Sembari menampilkan
produk sebagai fokus utama dari selfie atau foto yang mungkin menggambarkan
sebuah rute, hal ini juga dapat dianggap sebagai upaya untuk 'menjual'.
Sementara
selfie dapat ditampilkan dalam kemasan yang bukan sebenarnya, dengan fokus pada
'saya' dan 'sekarang', fenomena ini juga tentang orang-orang biasa yang mencoba
untuk menceritakan kisah mereka sendiri. Selfie menampilkan keaslian dan
keintiman, dan memiliki potensi ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar