Senin, 05 Januari 2015

ILMU SOSIAL DASAR TUGAS 4

FENOMENA SELFIE DAN ALASAN AKSI FOTO NARSIS BEGITU DIGEMARI


Penggemar situs jejaring sosial Instagram setahun belakangan ini pasti akrab dengan hashtag bertuliskan selfie. Mulai dari orang biasa hingga selebriti ternama, semua 'latah' berfoto selfie. Begitu populernya selfie sampai-sampai Kamus Bahasa Inggris Oxford menobatkan kata tersebut sebagai kata yang paling banyak dicari pada November 2013.
Bagi Anda yang belum tahu, selfie merupakan gaya foto yang menampilkan diri sendiri entah itu wajah, seluruh tubuh atau hanya bagian tertentu dari tubuh. Foto selfie ini dilakukan oleh diri sendiri tanpa meminta bantuan orang lain untuk memotret Anda. Saat melakukannya, si pelaku selfie akan memegang ponsel berkamera atau kamera dengan salah satu tangannya dan mengarahkan lensa ke bagian yang ingin difoto.
Psikolog Kasandra Putranto melihat fenomena selfie ini terjadi tak lain karena semakin canggihnya teknologi. Jika dulu foto diri sendiri tidak memungkinkan karena tidak adanya teknologi yang mendukung, sekarang ada banyak gadget penunjang untuk selfie.
"Dulu mau foto sendiri gimana caranya, ya harus ke tukang foto. Sekarang orang punya gadget, kamera, self timer, itu teknologi yang memungkinkan," kata psikolog lulusan Universitas Indonesia itu saat berbincang dengan Wolipop di kantornya di kawasan Kramat Pela, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan,
Dilihat dari sisi psikologi, Kasandra menilai fenomena selfie merupakan salah satu bentuk psikologi konsumen karena ada supply dan demand. Demand terjadi ketika orang-orang berkeinginan memotret dirinya sendiri dan kemudian didukung (supply) dengan hadirnya berbagai gadget canggih.
"Supply dan demand naik, munculah Facebook dan Instagram. Lalu foto (selfie) itu disebarin, ditunjukin ini lho saya lagi ngapain," ucap Kasandra.
Pandangan lain mengenai penyebab orang menyukai selfie datang dari profesor di Massachusetts Institute of Technology, Sherry Turkle. Dalam tulisannya di New York Times, Sherry mengatakan selfie, seperti foto pada umumnya, merupakan cara seseorang untuk merekam sebuah momen yang kemudian diperlihatkan ke orang lain.
Berdasarkan pengalamannya selama 15 tahun mempelajari hubungan antara manusia dan mobile techology, dia melihat sekarang ini bagi banyak orang sharing atau berbagi apapun dalam kehidupanlah yang penting dilakukan. "Orang-orang tidak lagi merasa menjadi dirinya sendiri kecuali mereka berbagi sebuah pemikiran atau perasaan, meskipun sebenarnya pemikiran atau perasaan itu juga belum jelas untuk mereka," tulis Sherry.
Profesor yang juga penulis buku Alone Together: Why We Expect More From Technology and Less From Each Other itu menulis lagi, jika dulu seorang filsuf Prancis ternama Descartes mengatakan 'I think, threfore I am', orang zaman sekarang karena begitu hobinya berbagi apapun di situs jejaring sosial dan internet, mengubah ungkapan tersebut menjadi 'I share, therefore I am.'
Fenomena memperlihatkan atau membagikan apapun mengenai diri ke internet inilah yang semakin membuat selfie menjadi populer. Menurut Sherry, selfie membuat orang-orang jadi mengesampingkan apapun yang tengah terjadi di sekitar kita karena yang terpenting adalah bagaimana agar momen tidak hilang dan didokumentasikan.

Ternyata, Selfie Bisa Jadi Karya Jurnalistik dan Hasilkan Uang


Walau ‘selfie’ dipandang sebagai bentuk modern dari narsisme, ada hal lain dari fenomena ini yang belum disadari masyarakat. ‘Selfie’ bisa menjadi sebuah bentuk jurnalisme warga dan memiliki potensi bisnis, menawarkan uang sebagai bentuk pertukaran foto yang diunggah online.
Bangkitnya media sosial, yang dibarengi dengan maraknya penggunaan ponsel pintar, tablet dan latop, adalah faktor di balik munculnya bentuk baru fotografi, yakni ‘selfie’.
Seperti namanya, ‘selfie’ meliputi wajah sang fotografer dalam jarak dekat, dengan rumah atau lokasi liburan sebagai latar belakangnya, menggambarkan apapun, mulai dari potongan rambut baru hingga suasana hati yang buruk.
‘Selfie’ mudah dilakukan dan bahkan lebih mudah untuk diunggah ke media sosial seperti Instagram, Facebook, dan Twitter.
Selfie sering diartikan sebagai bentuk narsisme dan dipandang sebagai fenomena fotografi yang secara spesifik dikaitkan dengan anak muda, tapi ada alasan mengapa kita harus memperhatikan fenomena foto ini.
Potensi produktif dari selfie, misalnya, bisa dilihat dari pergerakan politik terbaru, seperti unjuk rasa di Hongkong, tempat di mana selfie secara tak sengaja menjadi bentuk jurnalisme-foto warga. Selfie memungkinkan pelakunya untuk menandakan kehadiran mereka, secara visual, pada peristiwa penting seperti unjuk rasa, dan foto-foto ini memiliki kekuatan untuk menumbangkan liputan media yang ‘mainstream’.
Tapi apa perbedaan selfie dengan foto sehari-hari yang diambil warga pada saat ia menyaksikan suatu peristiwa atau mengikuti suatu acara?
Melihat potret wajah dengan ukuran ‘close-up’ atau secara dekat adalah bedanya. Selfie memiliki narasi personal atas gambar di dalamnya, di mana orang yang ada dalam foto bukanlah sebuah obyek jauh dan pasif.
Para pengguna ini bisa diklasifikasikan sebagai mikro-selebriti media sosial – mereka memiliki jumlah pengikut yang lumayan banyak, yang bisa dipengaruhi.
Penulis blog gaya hidup di Singapura adalah salah satu kelompok masyarakat yang memprofesionalkan selfie mereka demi keuntungan ekonomi. Para penulis blog ini secara hati-hati mengunggah selfie mereka, menciptakan keintiman dengan para pengikut, yang merupakan target
Bahkan ada perusahaan iklan yang mengkhususkan diri dalam mewakili para penulis blog populer dan pengguna media sosial. Setelah mereka diwakili,  seorang manajer bekerja untuk menengahi kolaborasi dan kesepakatan antara pengiklan dan pengguna media sosial dalam pembahasan komisi.
Dari media sosial yang ada, Instagram muncul sebagai pilihan teratas di antara para pengiklan korporat, berkat tampilan foto yang dimilikinya.
Menampilkan foto berukuran kecil yang sudah disesuaikan ukuran file-nya, Instagram membuat para penggunanya mengakses dan mengunggah foto dengan mudah. Dengan aplikasi penyuntingan foto yang dimilikinya, para pengguna juga bisa mempermak foto yang akan diunggah supaya lebih banyak disukai pengguna lainnya.
Mereka yang menggunakan Instagram untuk keuntungan finansial juga harus menemukan cara untuk memasarkan produk dan pengalaman mereka secara kreatif. Sembari menampilkan produk sebagai fokus utama dari selfie atau foto yang mungkin menggambarkan sebuah rute, hal ini juga dapat dianggap sebagai upaya untuk 'menjual'.
Sementara selfie dapat ditampilkan dalam kemasan yang bukan sebenarnya, dengan fokus pada 'saya' dan 'sekarang', fenomena ini juga tentang orang-orang biasa yang mencoba untuk menceritakan kisah mereka sendiri. Selfie menampilkan keaslian dan keintiman, dan memiliki potensi ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar